makalah ekowisata


EKOWISATA SEBAGAI WAHANA PELESTARIAN ALAM

Perkembangan dalam sektor kepariwisataan pada saat ini melahirkan konsep pengembangan pariwisata alternatif yang tepat dan secara aktif membantu menjaga keberlangsungan pemanfaatan budaya dan alam secara berkelanjutan dengan memperhatikan segala aspek dari pariwisata berkelanjutan yaitu; ekonomi masyarakat, lingkungan, dan sosial-budaya. Pengembangan pariwisata alternatif berkelanjutan khususnya ekowisata merupakan pembangunan yang mendukung pelestarian ekologi dan pemberian manfaat yang layak secara ekonomi dan adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat.
Ekowisata merupakan salah satu produk pariwisata alternatif yang mempunyai tujuan seiring dengan pembangunan pariwisata berkelanjutan yaitu pembangunan pariwisata yang secara ekologis memberikan manfaat yang layak secara ekonomi dan adil secara etika, memberikan manfaat sosial terhadap masyarakat guna memenuhi kebutuhan wisatawan dengan tetap memperhatikan kelestarian kehidupan sosial-budaya, dan memberi peluang bagi generasi muda sekarang dan yang akan datang untuk memanfaatkan dan mengembangkannya.
Menurut The International Ecotourism Society (2002) dalam www.world-toirism.org.omt/ecotourism2002.html mendifinisikan ekowisata sebagai berikut: Ecotourism is “responsible travel to natural areas that conserves the environment and sustains the well-being of local people.” Dari definisi ini, disebutkan bahwa ekowisata merupakan perjalanan wisata yang berbasiskan alam yang mana dalam kegiatannya sangat tergantung kepada alam, sehingga lingkungan, ekosistem, dan kerifan-kearifan lokal yang ada di dalamnya harus dilestarikan keberadaanya.
Ekowisata merupakan suatu kegiatan wisata berbasis alam yang informatif dan partisipatif yang bertujuan untuk berinteraksi langsung dengan alam, mengetahui habitat dan ekosistem yang ada dalam suatu lingkungan hidup, memberikan manfaat ekonomi kepada lingkungan untuk pelestarian lingkungan hidupnya, menyediakan lapangan kerja dan memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat lokal guna meningkatkan taraf hidupnya, dan menghormati serta melestarikan kebudayaan masyarakat lokal.
Ekowisata merupakan perjalanan wisata ke suatu lingkungan baik alam yang alami maupun buatan serta budaya yang ada yang bersifat informatif dan partisipatif yang bertujuan untuk menjamin kelestarian alam dan sosial-budaya. Ekowisata menitikberatkan pada tiga hal utama yaitu; keberlangsungan alam atau ekologi, memberikan manfaat ekonomi, dan secara psikologi dapat diterima dalam kehidupan sosial masyarakat. Jadi, kegiatan ekowisata secara langsung memberi akses kepada semua orang untuk melihat, mengetahui, dan menikmati pengalaman alam, intelektual dan budaya masyarakat lokal (Khan, 2003). Ekowisata memberikan kesempatan bagi para wisatawan untuk menikmati keindahan alam dan budaya untuk mempelajari lebih jauh tentang pantingnya berbagai ragam mahluk hidup yang ada di dalamnya dan budaya lokal yang berkembang di kawasan tersebut. Kegiatan ekowisata dapat meningkatkan pendapatan untuk pelestarian alam yang dijadikan sebagai obyek wisata ekowisata dan menghasilkan keuntungan ekonomi bagi kehidupan masyarakat setempat.
Drumm (2002) menyatakan bahwa ada enam keuntungan dalam implementasi kegiatan ekowisata yaitu: (1) memberikan nilai ekonomi dalam kegiatan ekosistem di dalam lingkungan yang dijadikan sebagai obyek wisata; (2) menghasilkan keuntungan secara langsung untuk pelestarian lingkungan; (3) memberikan keuntungan secara langsung dan tidak langsung bagi para stakeholders; (4) membangun konstituensi untuk konservasi secara lokal, nasional dan internasional; (5) mempromosikan penggunaan sumber daya alam yang berkelanjutan; dan (6) mengurangi ancaman terhadap kenekaragaman hayati yang ada di obyek wisata tersebut. Atraksi ekowisata dapat berupa satu jenis kegiatan wisata atau merupakan gabungan atau kombinasi kegiatan wisata seperti; flora dan fauna, marga satwa, formasi geomorfologi yang spektakuler dan manifestasi budaya yang unik yang berhubungan dengan konteks alam.
Pengembangan ekowisata juga tidak bisa terlepas dari dampak-dampak negatif seperti; tertekannya ekosistem yang ada di obyek ekowisata apabila dikunjungi wisatawan dalam jumlah yang banyak dan konflik kepentingan antara pengelola atau operator ekowisata dengan masyarakat lokal terutama mengenai pembagian keuntungan dan aksesibilitas. Untuk mengantisipasi dampak negatif dari pengembangan wisata, perlu pendekatan daya dukung dalam pengelolaan ekowisata sesuai dengan batas-batas kewajaran. Daya dukung ekowisata dipengaruhi faktor motivasi wisatawan dan faktor lingkungan biofisik lokasi ekowisata. Daya dukung ekowisata tidak hanya terbatas pada jumlah kunjungan, namun juga meliputi aspek-aspek lainnya seperti : (1) kapasitas ekologi yaitu kemampuan lingkungan alam untuk memenuhi kebutuhan wisatawan; (2) kapasitas fisik yaitu kemampuan sarana dan prasarana untuk memenuhi kebutuhan wisatawan; (3) kapasitas sosial yaitu kemampuan daerah tujuan untuk menyerap pariwisata tanpa menimbulkan dampak negatif pada masyarakat lokal; (4) dan kapasitas ekonomi yaitu kemampuan daerah tujuan untuk menyerap usaha-usaha komersial namun tetap mewadahi kepentingan ekonomi lokal.
Kesuksesan pengembangan ekowisata sangat ditentukan oleh peran dari masing-masing pelaku ekowisata yaitu; industri pariwisata, wisatawan, masyarakat lokal, pemerintah dan instansi non pemerintah, dan akademisi. Para pelaku ekowisata mempunyai peran dan karakter tersendiri yaitu: (1) industri pariwisata yang mengoperasikan ekowisata merupakan industri pariwisata yang peduli terhadap pentingnya pelestarian alam dan keberlanjutan pariwisata dan mempromosikan serta menjual program wisata yang berhubungan dengan flora, fauna, dan alam; (2) wisatawannya merupakan wisatawan yang peduli terhadap lingkungan; (3) masyarakat lokal dilibatkan dalam perencanaan, penerapan dan pengawasan pembangunan, dan pengevaluasian pembangunan; (4) pemerintah berperan dalam pembuatan peraturan-peraturan yang mengatur tentang pembangunan fasilitas ekowisata agar tidak terjadi eksploitasi terhadap lingkungan yang berlebihan; (5) akademisi bertugas untuk mengkaji tentang pengertian ekowisata dan mengadakan penelitian untuk menguji apakah prinsip-prinsi yang dituangkan dalam pengertian ekowisata sudah diterapkan dalam prakteknya. Pembangunan ekowisata yang berkelanjutan dapat berhasil apabila karakter atau peran yang dimiliki oleh masing-masing pelaku ekowisata dimainkan sesuai dengan perannya, bekerjasama secara holistik di antara para stakeholders, memperdalam pengertian dan kesadaran terhadap pelestarian alam, dan menjamin keberlanjutan kegiatan ekowisata tersebut. (France, 1997).
Lebih lanjut Drumm (2002) menyatakan bahwa dalam pengembangan ekowisata harus: (1) memiliki dampak yang rendah terhadap sumber daya alam yang dijadikan sebagai obyek wisata; (2) melibatkan stakeholders (perorangan, masyarakat, eco-tourists, tour operator dan institusi pemerintah maupun non pemerintah) dalam tahap perencanaan, pembangunan, penerapan dan pengawasan; (3) menghormati budaya-budaya dan tradisi-tradisi lokal; (4) menghasilkan pendapatan yang pantas dan berkelanjutan bagi para masyarakat lokal, stakeholders dan tour operator lokal; (5) menghasilkan pendapatan untuk pelestarian alam yang dijadikan sebagai obyek wisata; (6) dan mendidik para stakeholders mengenai peranannya dalam pelestarian alam.
Pengembangan obyek ekowisata harus selalu berpedoman pada prinsip-prinsip ekowisata dan pariwisata berkelanjutan agar tercapai tujuan pengembangan ekowisata yakni ekowisata yang berkelanjutan (sutainable ecotourism). Ada tujuh hal penting yang harus dilakukan oleh operator ekowisata dalam upaya mewujudkan ekowisata yang berkelanjutan sebagaimana yang disebutkan oleh The Ecotravel Center (2002) dalam www.world-toirism.org.omt/ecotourism2002.html, yaitu; (1) mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan yang dijadikan sebagai obyek ekowisata, (2) meningkatkan kontribusi terhadap pembangunan di sekitar obyek ekowisata dan mendukung program pembangunan berkelanjutan, (3) pengurangan konsumsi terhadap sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui, (4) melestarikan kearifan-kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat lokal, (5) mengutamakan usaha-usaha pendukung kegiatan ekowisata yang dimiliki oleh masyarakat lokal, (6) mendukung usaha-usaha pelestarian lingkungan, dan (7) memberikan kontribusi terhadap pelestarian biodiversitas yang ada di lingkungan yang dijadikan sebagai obyek ekowisata.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ekowisata sebagai konsep Pengembangan

Batasan ekowisata secara nasional dirumuskan oleh Kantor Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia dalam rencana strategis ekowisata nasional adalah suatu konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan berbasis pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan, serta berintikan partisipasi aktif masyarakat, dan dengan penyajian produk bermuatan pendidikan dan pembelajaran, berdampak negative minimal, memberikan kontribusi positip terhadap pembangunan ekonomi daerah, dan diberlakukan bagi kawasan lindung, kawasan terbuka, kawasan alam binaan, serta kawasan budidaya (Sekartjakrarini & Legoh 2004).
Menurut Wight (1993) bahwa prinsip-prinsip dasar ekowisata lestari (ekowisata berkelanjutan), yaitu : (1) ekowisata tidak merusak sumberdaya dan harus dikembangkan dalam pola yang selalu didasarkan pada prinsip ramah lingkungan; (2) kegiatan ekowisata harus ditangani langsung oleh pihak pertama, berpartisipasi penuh dan mengutamakan pada pengalaman; (3) ekowisata harus melibatkan pendidikan semua pihak yang meliputi masyarakat lokal, pemerintah, organisasi non pemerintah, industri dan wsiatawan sebelum, selama dan sesudah perjalanan; (4) ekowisata melibatkan penerimaan dan sumberdaya dengan keterbatasannya; (5) kegiatan ekowisata mampu mendorong pemahaman dan melibatkan kemitraan antara berbagai pelaku yang mencakup pemerintah, organisasi non pemerintah, industry, ilmuwan dan masyarakat lokal (sebelum/selama operasi); (6) pengoperasian ekowisata harus menjamin bahwa pokok-pokok etika bagi praktek yang bertanggungjawab terhadap lingkungan tidak hanya diterapkan pada sumberdaya (alam dan budaya) yang menarik wisatawan tetapi juga diterapkan pada operasional internalnya; (7) ekowisata harus mampu mendorong tanggungjawab moral dan etika serta perilaku terhadap lingkungan alam dan budaya yang dilaksanakan oleh semua pihak yang berperan; (8) ekowisata harus memberikan manfaat dalam jangka panjang bagi sumberdaya masyarakat lokal dan bagi industry (manfaat tersebut dapat berupa konservasi, ilmiah, sosial, budaya dan ekonomi).
Tiga dimensi ekowisata menurut Hafild (1995) yaitu : (1) Konservasi ; (2) pendidikan (3) sosial . Menurut Hadinoto (1996) mengemukakan bahwa berdasarkan pengalaman dari wisata umum, ekowisata memiliki pola sebagai berikut :
1. Ekowisata merupakan bagian dari wisata alam. Wisata ini mengutamakan keadaan alam sebagai atraksinya. Aset budaya masyarakat yang ada dalam kawasan ekowisata harus dijaga;
2. Ekowisata disebut juga wisata minat khusus. Kegiatan ini merupakan wisata petualangan di kawasan terpencil, dimana keadaan alam relatif masih asli;
3. Ekowisata berskala kecil. Jumlah wisatawan merupakan kelompok yang kecil dan menggunakan tempat-tempat kecil untuk akomodasi yang tidak terkonsentrasi (satu tempat);
4. Daya dukung (carrying capacity) kawasan yang dilalui terus di pantau dan tidak boleh dilewati. Wisatawan yang melintasi kawasan harus berjalan kaki melewati jalan setapak dan tidak boleh keluar jalur. Daya dukung lingkungan merupakan tingkat kehadiran wisatawan yang menciptakan dampak terhadap masyarakat lingkungan dan ekonomi yang dapat diterima oleh wisatawan dan masyarakat setempat sebagai tuan rumah dan lestari pada periode yang akan datang;
5. Ekowisata berdampak kecil karena dilaksanakan dikawasan yang dilindungi, maka tingkah laku wisatawan terkendali sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga tidak merusak tau mengganggu flora da fauna.
6. Sarana wisata di kawasan wisata harus menerapkan eco-engineering dengan arsitektur lokal, tukang dari masyarakat lokal dan dikelola oleh mereka.
7. Agar kegiatan ekowisata berjalan sukses, wisatawan harus didampingi oleh pemandu yang ahli dibidangnya, dapat menjelaskan bagaimana pengunjung berperan serta melestarikan kawasan. Interpretasi adalah proses untuk mengembangkan daya tarik pengunjung dengan cara menarik dalam menjelaskan suatu lokasi atau dengan mendekripsikan dan menerangkan karakteristik lokasi tersebut;
8. Kawasan ekowisata merupakan kawasan lindung, harus mampu mendatangkan pendapatan, sehingga dapat digunakan untuk pemeliharaan, rehabilitasi dan peningkatan konservasi kawasan lindung tersebut.
Supriatna (1997) menyatakan bahwa penyelenggaraan industry pariwisata alam yang berwawasan lingkungan dilaksanakan dengan memperhatikan faktor-faktor : (1) konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya; (2) kelestarian budaya dan mutu lingkungan; (3) kemampuan untuk mendorong dan meningkatkan perkembangan kehidupan ekonomi dan sosial budaya; (4) nilai-nilai agama adat-istiadat serta pandangan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Berdasarkan definsi ekowisata, Masyarakat Ekowisata Indonesia (1997) mengemukakan bahwa ada lima elemen penting yang menjadi prinsip kegiatan ekowisata yaitu : (1) perjalanan wisata yang bertanggungjawab. Semua pihak pelaku ekowisata harus bertanggungjawab untuk meniadakan/meminimalkan dampak negatif kegiatan ini terhadap lingkungan alam dan budaya di daerah tujuan ekowisata; (2) kearah atau di daerah yang masih alami atau dikelola secara kaidah alam; (3) tujuannya selain untuk menikmati pesona alam, juga untuk mendapatkan tambahan pengetahuan dan pemahaman mengenai daerah tujuan ekowisata; (4) dukungan terhadap usaha-usaha konservasi alam; (5) meningkatkan pendapatan masyarakat setempat.
Kabupaten Kepulauan Yapen salah satu kabupaten di Provinsi Papua mempunyai potensi sangat besar dalam pengembangan ekowisata kawasan hutan tropika yang tersebar dikepulauan sangat menjanjikan untuk ekowisata dan wisata minat khusus. Ekowisata di beri batasan sebagai kegiatan yang bertumpu pada lingkungan dan bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi masyarakat serta bagi kelestarian sumberdaya dan berkelanjutan. Lima aspek utama berkembangnya ekowisata adalah : (1) adanya keaslian lingkungan alam dan budaya, (2) keberadaan dan dukungan masyarakat, (3) pendidikan dan pengalaman, (4) keberlanjutan dan (5) kemampuan manajemen pengelolaan ekowisata (Choy 1997).
Menurut Heriawan (1998) sektor pariwisata di percaya akan menjadi sektor potensial dalam pembangunan ekonomi masa depan yang berkaitan dengan persaingan global. Ada empat pusat perhatian dalam pengembangan sektor ini, yaitu (1) perluasan dan obyek dan tujuan wisata dengan mempertimbangkan kekayaan alam dan beragam budaya bangsa; (2) pengembangan berbagai fasilitas seperti hotel, restoran, transportasi termasuk program pengembangan sumberdaya manusia; (3) peningkatan promosi dan pemasaran terutama pada negara-negara berpotensi serta pengembangan wisata potensial; (4) perbaikan kualitas jasa pelayanan yang terkait dengan pariwisata dan (5) karena bersifat multi dimensional maka diperlukan keterpaduan pembangunan lintas sektoral.
Ginzo Aoyama (2000) mengemukakan ekowisata dalam teori prakteknya tumbuh dari kritik terhadap pariwisata masal, yang di pandang merusak terhadap landasan sumberdayanya, yaitu lingkungan dan kebudayaan. Kritik ini melahirkan berbagai istilah baru, antara lain pariwisata alternatif, pariwisata yang bertanggungjawab, pariwisata berbasis komunitas, dan eco-tourism. Alasan umum penggunaan konsep ini adalah karena dapat menggambarkan pariwisata yang termasuk : (1) bukan pariwisata berskala besar/ masal; (2) menciptakan suatu alternatif untuk menghadapi ekploitasi sumberdaya alam baik oleh industrinya maupun penduduk setempat, (3) mempererat hubungan antar bangsa.
Diantara konsep-konsep ini, eco-tourism dianggap paling popular, karena bisa mengkaitkan kebutuhan-kebutuhan dari gerakan lingkungan yang mencari cara-cara dan alat untuk menterjemahkan prinsip-prinsip ekologi kedalam praktek pengelolaan berkelanjutan, dengan trend pasar terbaru seperti perjalanan petualangan dan gaya hidup kembali kealam (back to nature). Karena itu gerakan lingkungan menganggap konsep pariwisata ini sebagai instrument konservasi yang bersifat mandiri karena : (1) bisa memodali sendiri kegiatan usahanya; (2) menciptakan suatu alternative untuk menghadapi sumber-sumberdaya alam baik oleh industry maupun masyarakat setempat; (3) sarana pendidikan masyarakat dengan memperluas basis gerakannya.
Sementara itu, industri pariwisata umumnya memahami ekowisata sebagai trend menguntungkan serta satu cara menciptakan citra yang mendukung kesadaran akan lingkungan. Tentu terdapat banyak “green entrepreneurs” yang berada di garis depan usaha konservasi ini, tetapi mereka pada umumnya belum memahami ekowisata sebagai sebagai sesuatu yang lebih daripada suatu bentuk pariwisata masal yang berdampak relatif kecil. Keadaan tersebut dapat dilihat dari bentuk-bentuk promosi penjualan tiket perjalanan ke kawasan pelestarian alam yang disebut ekowisata. Hal ini terjadi karena ekowisata adalah konsep sangat rentan terhadap interpretasi, tergantung siapa yang menginterpretasikan.
Agar suatu obyek pariwisata tetap berkelanjutan, menurut Supriatna et al (2000) menyatakan bahwa secara konseptual ekowisata dapat dikatakan sebagai suatu konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat. Apabila ditinjau dari segi pengelolaannya, ekowisata merupakan penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggungjawab di tempat-tempat alami dan atau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan kaidah alam dan secara ekonomi berkelanjutan yang mendukung upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Kaharuddin (2001) menempatkan ekowisata sebagai konsep wisata baru yang didasarkan atas :
1. Daerah tujuannya ke kawasan alami dengan adanya pelibatan masyarakat yang memiliki kebudayaan, sehingga juga melibatkan jenis wisata budaya;
2. Kelompok kecil wisatawan bukan jaminan terciptanya kelestarian kawasan tanpa ada gangguan dari pengunjung. Jumlah pengunjung yang banyak, tetapi mereka sadar lingkungan maka kerusakan yang ditimbulkan juga kecil;
3. Akar dari ekowisata, menempatkan manusia sebagai salahs atu komponen penyusunnya, wajib untuk menyadarkan wisatawan terhadap kelestarian kawasan/lingkungan, yang selama ini manusia cenderung menempatkan diri sebagai penguasa atas alam dan bukan setara dengan alam.
4. Penyadaran lingkungan dapat ditempuh melalui pemahaman terhadap obyek melalui pengetahuan terhadap makna/filosofi di balik obyek atau atraksi wisata. Penyadaran ini tidak hanya bisa dilakukan pada obyek wisata alam, tetapi juga pada obyek wisata budaya. Pesan yang disampaikan ekowisata lebih kepada makna persahabatan, perdamaian antara wisatawan dengan penduduk lokal dan wisatawan dengan lingkungan.
Dari beberapa pengertian tentang ekowisata, maka penulis dapat memberi gambaran bahwa ekowisata, merupakan suatu konsep pengembangan pariwisata dimana konsep-konsep tersebut diterapkan dalam penyelenggaraan kegiatan wisata yaitu perjalanan yang bertanggungjawab dan berwawasan lingkungan, kegiatan wisata dilakukan tidak merusak lingkungan, ada unsure pendidikan dan dapat memberikan manfaat terhadap kawasan itu sendiri serta bermanfaat terhadap masyarakat di sekitar kawasan. Sedangkan kriteria pemilihan lokasi untuk wisata adalah kawasan yang memiliki keunikan yang khusus, memiliki atraksi budaya yang unik, ada kesiapan masyarakat setempat, peruntukan kawasan tidak meragukan dan tersedia aksesibilitas dan akomodasi yang memadai.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apa yang kamu ketahui tentang ekowisata

Berbagai pendapat pengertian dan batasan tentang ekowisata, diungkapkan berbagai pihak adalah Lascurain & Ceballos (1998) yang lebih menekankan perjalanan pada daerah yang masih alami, oleh The Ecotourism Society (1993) sebagai suatu perjalanan yang bertanggungjawab kelingkungan alami yang mendukung konservasi dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat. Ziffer (1989) menekankan pada sektor sejarah dan budaya, Whelan (1991) pada faktor etnis, Boo (1992) pada faktor pendidikan lingkungan, Steele (1993) tentang proses ekonomi, Cater & Lowman (1994) tentang pemanfaatan bertanggungjawab dan imbuhan kata ‘eco’ (seperti ecotour, ecotravel, ecosafari, ecovacation, ecocruise, dll). Hudman et al (1989) pada faktor budaya, Lindberg (1991) pada faktor pelestarian, Gunn (1994) pada faktor petualangan, Brandon (1996) pada faktor pengetahuan dan konservasi. Kususdianto (1996) memberikan batasan ruang lingkup usaha ekowisata, dan Silver (1997) memberikan batasan ekowisata sebagai berikut : (1) menginginkan pengalaman asli; (2) layak dijalani secara pribadi maupun sosial; (3) tak ada rencana perjalanan yang ketat; (4) tantangan fisik dan mental; (5) interaksi dengan budaya dan penduduk setempat; (6) toleran pada ketidaknyamanan; (7) bersikap aktif; (8) lebih suka petualangan daripada pengalaman. Sedangkan Choy et al (1996) memberikan batasan lima faktor pokok yang mendasar yaitu : lingkungan, masyarakat, pendidikan dan pengalaman, keberlanjutan dan manajemen.
Menurut Lindberg (1991) ekowisata merupakan perjalanan yang bertanggungjawab kewilayah-wilayah alami, yang bertujuan untuk melindungi dan melestarikan lingkungan sedemikian rupa sehingga menekan sekecil mungkin dampak terhadap lingkungan dan sosial budaya, membangkitkan pendanaan bagi kawasan-kawasan yang dilindungi serta meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat, kegiatan ini merupakan gabungan dari rasa cinta terhadap alam dan memiliki rasa tanggungjawab sosial terhadap masyarakat.
Banyaknya definisi ekowisata yang ada menunjukan bahwa ekowisata sebenarnya masih merupakan suatu konsep yang akan terus berkembang. Perkembangan konsep ekowisata di Indonesia juga mengalami perkembangan yang cukup signifikan dengan perubahan pola pikir masyarakat. Menurut hasil rumusan Simposium dan Semiloka INDECON (1996), ekowisata didefinisikan sebagai perjalanan wisata yang bertanggungjawab di daerah yang masih alami atau di daerah-daerah yang dikelola dengan kaidah alam dimana tujuannya selain untuk menikmati keindahannya juga melibatkan unsure pendidikan, pemahaman dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi alam serta peningkatan pendapatan masyarakat setempat sekitar daerah tujuan wisata.
Ekowisata menurut KMNLH (1996) disebut dengan istilah wisata ekologia yang berarti wisata dalam bentuk perjalanan ke tempat-tempat di alam terbuka yang relatif belum terjamah atau tercermar dengan tujuan khusus untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan dengan tumbuh-tumbuhan serta satwa liarnya (termasuk kawasan berupa ekosistem, keadaan iklim, fenomena alam, kekhasan jenis tumbuhan dan satwa liar) juga semua manifestasi kebudayaan yang ada (termasuk tatanan lingkungan sosial budaya), baik dari masa lampau maupun masa kini ditempat-tempat tersebut dengan tujuan untuk melestarikan lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Menurut Alikodra (1997) ekowisata merupakan salah satu kegiatan strategis bagi implementasi konservasi sumberdaya alam dan lingkungan di Indonesia. Program ini selain dapat meningkatkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat setempat, meningkatkan devisa negara, juga dapat melindungi dan melestarikan sumberdaya alam khususnya bagi sumberdaya alam hayati dan lingkungannya. Selanjutnya menurut Ridwan (2000) ekowisata juga dapat dikembangkan di kawasan hutan produksi, lindung dan di desa-desa yang mempunyai kekhasan/keunikan. Ada empat prinsip yang harus menjadi pegangan dalam pengembangan hutan untuk ekowsiata yaitu konservasi, edukasi, partisipasi masyarakat dan ekonomi. Selanjutnya menurut Sekartjakrarini & Legoh(2004) ekowisata adalah suatu konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan pariwisata berbasis pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan, berintikan partisipasi aktif masyarakat dan dengan penyajian produk bermuatan pendidikan, pembelajaran, meminimalkan dampak negatif, memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan ekonomi daerah dan diberlakukan bagi kawasan lindung, kawasan terbuka, kawasan alam binaan, serta kawasan budaya.
Dari beberapa pengertian tentang ekowisata maka dapat disimpulkan ekowisata bukan pariwisata masal, bukan pariwisata untuk bermain-main atau hanya sekedar berkunjung. Ekowisata adalah mengunjungi daerah-daerah yang masih alami, tidak menimbulkan atau sedikit efek samping terhadap daerah tujuan wisata, perlindungan alam (konservasi), pendidikan lingkungan bagi wisatawan dan masyarakat setempat, pemberdayaan masyarakat setempat serta adanya saling menghormati terhadap budaya yang berbeda antara wisatawan dan masyarakat setempat.

 

Permasalahan Pengelolaan Hutan di Indonesia

Sesuai dengan UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan terdiri dari kegiatan-kegiatan perencanaan kehutanan , pengelolaan , penelitian dan pengembangan, Diklat dan penyuluhan serta pengawasan. Dari keseluruhan tersebut, implementasi kegiatan perencanaan dilapangan masih cukup lemah, sehingga menyebabkan lemahnya kontrol penyelenggaraan kehutanan secara keseluruhan. Kegiatan perencanaan tersebut meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan penyusunan rencana kehutanan. Di antara kegiatan pengelolaan hutan yaitu terdiri dari kegiatan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, perlindungan hutan dan konservasi alam, kegiatan pemanfaatan hutan (terutama dalam hal penerbitan perijinan-perijinan dan peredaran hasil hutan) masih lebih dominan daripada kegiatan rehabilitasi, sehingga kerusakan hutan produksi terus-menerus meningkat.
Menurut Rencana Strategi Departemen Kehutanan RI tahun 2005-2009, permasalahan pembangunan kehutanan pada saat ini diwarnai dengan tingginya tingkat gangguan terhadap sumberdaya hutan (SDH) milik negara (state forest) seperti maraknya illegal logging, penyerobotan lahan, meluasnya kawasan hutan yang tidak dibebani hak (tidak ada pengelola), buruknya kinerja pemegang IUPHHK, perambahan/konflik kawasan dan sebagainya yang menyebabkan terdegradasinya hutan. Dalam jangka menengah dan panjang, investasi yang kini sedang dijalankan Departemen Kehutanan berupa gerakan rehabilitasi hutan dan lahan, proyek-proyek social forestry, dan pengembangan unit manajemen hutan meranti (PUHM), maupun investasi swasta dalam pembinaan hutan alam dan pembangunan hutan tanaman juga belum dapat mewujudkan pengelolaan hutan lestari untuk kesejahteraan masyarakat.
Menurut Kartodihardjo (2006), berdasarkan hasil evaluasi terhadap pengelolaan hutan, masalah-masalah pokok kehutanan Indonesia adalah : (1) Lemahnya kinerja birokrasi, (2) Ketidakpastian hak atas hutan negara, (3) implementasi berbagai undang-undang yang tidak sinkron, (4) Ketidaktegasan upaya pemberdayaan masyarakat adat dan lokal lainnya, (5) Lemahnya penegakan hukum.
Berbagai permasalahan tersebut, salah satu masalah mendasar yang sampai saat ini masih belum diselesaikan adalah masalah kelembagaan (Kartodihardjo, 2006), yang antara lain belum terbentuknya unit pengelolaan hutan dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) baik pada kawasan hutan produksi, lindung maupun konservasi, khususnya di luar P. Jawa. Kehadiran KPH tersebut merupakan konsekuensi logis dari struktur aturan main penguasaan hutan dan situasi yang melingkupi kesalingterkaitan (interdepency) para aktor dalam pengelolaan SDH saat ini.
Struktur aturan main yang bekenaan dengan penguasaan hutan dapat dijabarkan berdasarkan UU nomor 41 tahun 1999 (pasal 4) yang antara lain menjelaskan bahwa : (1) semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; (2) penguasaan hutan oleh negara tersebut, selanjutnya memberi kewenangan kepada pemerintah untuk : (a) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; (b) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan (c) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
Sedangkan situasi yang melingkupi kesalingterkaitan para aktor dalam pengelolaan SDH saat ini yang paling menonjol adalah : (a) Pengelolaan hutan melibatkan kepentingan multipihak seperti birokrasi, politisi, pengusaha dan masyarakat bahkan penegak hukum; (b) kepentingan-kepentingan tersebut (interest) cukup beragam mulai dari kepentingan ekploitatif di satu sisi dan kepentingan konservasi di sisi lain; (c) Di dalam pengelolaannya, biaya-biaya yang diperlukan untuk penegakan hak-hak atas SDH sangat mahal sebagai implikasi dari luas wilayah (wide), penyebaran areal hutan (disperse) dan keterpencilan (remote); (d) Keperluan biaya untuk penegakan hak-hak atas SDH tidak mampu tertanggulangi oleh pemerintah karena keterbatasan pendanaan, terlebih bila pengelolaan dilakukan dari tempat yang sangat jauh dari pusat-pusat kegiatan.










KATA PENGANTAR


       Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Pemurah,  karena berkat kemurahanNya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan.Dalam makalah ini kami membahas “ekowisata, etika, & pembangunan ekonomi”, suatu permasalahan yang  selalu dialami bagi  masyarakat yang  berada di dalam suatu lingkungan hidup.
       Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam  pemahaman masalah lingungan hidup yang sangat diperlukan dalam kehidupan berlingkungan

Demikian makalah ini saya buat semoga bermanfaat,



Indramayu, 27 maret 2011
Penyusun’
Drs. Ade irwan alm
Drs. Deni maulana alm
Kang mas musa.m
Nenk eci winarti
Nenk sela wait
Nenk selvyana








MAKALAH 

PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP                                                                                                

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RPP BAHASA INDRAMAYU KELAS 5 SEMESTER 2